Pelonggaran PSBB dan Risiko Terhadap Penularan COVID-19

4 min read

Baca semua artikel berita seputar coronavirus (COVID-19) di sini.

Setelah sempat diperketat pada awal September, Pemerintah DKI Jakarta kembali melakukan pelonggaran PSBB pada pekan kedua Oktober 2020. Ini adalah pelonggaran PSBB kedua setelah sebelumnya dilakukan pada Juni namun kembali diperketat karena terjadi lonjakan kasus.

Hingga saat ini pun belum ada perhitungan mengenai keberhasilan PSBB dan angka kasus positif masih terus bertambah. Para ahli menganggap belum saatnya pelonggaran PSBB dilakukan karena masih tingginya risiko penularan COVID-19.

Belum saatnya pelonggaran PSBB karena risiko penularan masih tinggi

Risiko pelonggaran psbb

PSBB adalah aturan pembatasan sejumlah kegiatan dalam suatu wilayah yang terinfeksi COVID-19. Pembatasan tersebut meliputi sekolah, kantor, kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan moda transportasi, dan pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.

Pembatasan ini dilakukan untuk memperkecil kontak fisik antar individu demi menekan penularan COVID-19. Penerapan PSBB tidak melarang orang untuk keluar rumah.

Mereka yang memiliki keperluan penting masih bisa keluar tanpa diberikan sanksi. Karena memang PSBB terbilang lebih longgar daripada konsep karantina wilayah atau lockdown yang betul-betul memutus kontak fisik antar individu.

Setelah satu bulan diberlakukan, pemerintah mewacanakan untuk melakukan pelonggaran atau relaksasi peraturan PSBB untuk menjalankan perputaran ekonomi. 

Pada Kamis (7/5), Kementerian Perhubungan telah mengizinkan transportasi darat (termasuk kereta api), laut, dan udara kembali beroperasi dengan beberapa syarat.

Rencana pelonggaran di sektor ekonomi juga disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam live di Instagram pribadinya pada Sabtu (2/5).

Relaksasi PSBB rencananya akan dimulai awal bulan Juni dengan membuka kegiatan industri ekonomi dan bisnis. Kajian awal relaksasi PSBB yang disusun oleh Kemenko Perekonomian juga telah beredar di media massa.

Di antaranya adalah mal boleh beroperasi seperti semula (toko-toko boleh buka) mulai 8 Juni 2020, tapi tetap dengan protokol kesehatan COVID-19. 

Wacana pelonggaran PSBB menimbulkan banyak kritik dari dokter dan para ahli karena risiko penularannya masih tinggi.

“Ini belum waktunya (bagi pemerintah) untuk mulai melonggarkan PSBB,” kata dr. Panji Hadisoemarto, ahli epidemiologi Universitas Padjadjaran, dalam siaran pers bersama Tim Lapor COVID-19, Senin (11/5).

Senada dengan dr. Panji, ahli epidemiologi Eijkman-Oxford Clinical Research Unit Iqbal Elyazar menganggap momentum ini seharusnya dimanfaatkan pemerintah untuk memperketat pelaksanaan PSBB bukan sebaliknya. 

“Saya melihat PSBB inilah pilihan kita, optimalisasi harus dipertahankan hingga minimal 80 persen pengurangan aktivitas di luar rumah,” ujar Iqbal. Ia optimis jika optimalisasi PSBB berhasil, Indonesia akan mampu menurunkan kurva pandemi.

Minggu kedua ini PSBB kembali dilonggarkan. Selain mengizinkan kembali tempat hiburan dan perkantoran kembali beroperasi dengan syarat pengurangan kepadatan, bioskop pun rencananya diizinkan beroperasi. Bioskop dapat kembali dibuka namun hanya 25% kapasitas yang boleh diisi.

Baca Juga :  Seberapa Banyak Harusnya Porsi Makan Nasi Saat Sarapan?

Pembatasan bisa dilonggarkan jika telah ada kajian ilmiah keberhasilan PSBB

Risiko pelonggaran psbb

Dokter Panji menjelaskan, pada penyakit menular, setiap kasus itu bukan hanya sekadar kasus, tapi juga sumber penularan. 

“Selama masih ada sumber penularan dan ada orang yang rentan maka belum aman untuk membuka kegiatan ekonomi, apalagi kalau itu berarti aktivitas sosial ikut kembali normal,” jelas dr. Panji.

Ia memberikan contoh, Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) menyarankan Amerika Serikat bisa membuka aktivitas ekonomi jika negara bagian hanya memiliki 1 kasus per satu juta penduduk. 

Dalam perhitungannya, dr. Panji menilai Jakarta bisa dengan aman membuka aktivitas ekonomi jika hanya memiliki 10 kasus aktif. Sedangkan saat ini masih ada ribuan kasus aktif di Jakarta.

Pertimbangan lain jika ada pelonggaran PSBB maka pengawasan harus semakin ketat dan deteksi kasus dilakukan sedini mungkin untuk mengurangi risiko.

herd immunity coronavirus

Jika hal tersebut tidak dilakukan maka dikhawatirkan penularan virus akan terlalu banyak sehingga memaksa kita melakukan pembatasan dan memulai semuanya dari awal lagi.

Sementara itu, Iqbal menekankan bahwa untuk melakukan pelonggaran PSBB perlu ada perhitungan risiko berdasarkan kajian ilmiah. Dari perhitungan ini kemudian bisa diambil ukuran kapan pembatasan boleh dilonggarkan dan kapan harus diperketat.

“Kita berharap setiap keputusan yang diambil (pemerintah) itu berdasarkan ilmu sains, berdasarkan data dan informasi, dan didukung oleh model yang menjelaskan dampak dari keputusan tersebut,” kata Iqbal.

Baca Juga :  7 Gejala yang Menandakan Anda Sedang Muntaber

Pelaporan data kasus COVID-19 dan tidak lengkapnya data kematian

Risiko pelonggaran psbb

Alasan lain belum tepatnya keputusan pelonggaran karena evaluasi PSBB belum didukung oleh data yang valid. 

PSBB dianggap berhasil jika pertambahan kasus semakin menurun setelah aturan diterapkan, hingga angkanya mendekati nol atau tidak ada pertambahan kasus baru. 

Menurut dr. Panji, data pertambahan kasus COVID-19 yang disajikan pemerintah tidak sesuai dengan keadaan di lapangan. Perbedaan ini membuat klaim keberhasilan PSBB belum bisa dibenarkan.

Perhitungannya, proses pendataan satu orang pasien membutuhkan waktu sekitar 10-17 hari, yakni dari pengambilan sampel sampai dengan diumumkan. 

“Dengan keterlambatan ini berarti kurva pandemi yang disajikan adalah dari data lampau,” jelas dr. Panji. 

COVID-19 Bisa Dihadapi dengan Meratakan Kurva Pandemi, Apa Maksudnya?

Tim Lapor COVID-19 yang mengkaji data laporan COVID-19 menyimpulkan adanya perbedaan data kematian antara yang dilaporkan pemerintah dengan keseluruhan kasus kematian akibat COVID-19. 

WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) per 11 April telah memperbarui tata cara pencatatan kematian terkait Covid-19. Semua kematian diduga memiliki gejala COVID-19 harus dicatat, sampai dapat dibuktikan kematian bukan karena Covid-19,” kata Irma Hidayana dari Laporcovid19.org.

Menurutnya jika mengacu pada panduan WHO maka ada perbedaan hingga 50 persen data kematian terkait COVID-19. Masalah simpang siur pelaporan data kematian akibat COVID-19 pun hingga kini masih terjadi. 

The post Pelonggaran PSBB dan Risiko Terhadap Penularan COVID-19 appeared first on Hello Sehat.