Polusi udara menjadi penyebab berbagai penyakit pernapasan, terutama di negara-negara berkembang. Sebuah studi terbaru bahkan menyebut polusi udara memicu banyak keguguran dan risiko bayi lahir mati atau stillbirth.
“Temuan kami memberikan dasar ilmiah lebih lanjut agar segera mengambil tindakan untuk mengatasi bahaya polusi udara yang levelnya terus meningkat,” kata ketua peneliti, Profesor Tao Xue dari Peking University.
Polusi udara mempengaruhi tingginya risiko keguguran dan stillbirth
Paparan polusi udara yang sangat buruk pada perempuan hamil bisa meningkatkan risiko stillbirth dan keguguran. Sebuah studi terbaru menemukan fakta bahwa polusi udara di India dan kawasan Asia Selatan menjadi salah satu faktor penyebab tingginya angka keguguran dan bayi lahir mati (stillbirth).
Studi yang dipublikasikan di jurnal medis The Lancet pada Januari ini meneliti 34.197 ibu di India, Pakistan, dan Bangladesh yang pernah mengalami keguguran dan mereka yang mengalami satu atau lebih kelahiran hidup selama periode 1998-2016. Mereka membandingkan kondisi polusi udara selama masa kehamilan yang berakhir keguguran atau stillbirth dan selama masa kehamilan yang berakhir hidup.
Hasilnya, mereka yang mengalami keguguran atau stillbirth rata-rata terpapar PM2.5 sebesar 56.00 mikrogram/m3. Sementara ibu yang berhasil melahirkan dan hidup menerima paparan PM2.5 lebih rendah, yakni 54.57 mikrogram/m3.
“Perbedaan paparan PM2.5 selama kehamilan yang mengakibatkan keguguran dan kehamilan yang berakhir kelahiran hidup menunjukkan adanya hubungan PM2.5 dan keguguran,” tulis studi tersebut.
Penelitian yang dilakukan ilmuwan Peking University ini memperkirakan ada hampir 350.000 keguguran terjadi di kawasan Asia Selatan setiap tahunnya.
Dari total tersebut, 7% di antaranya disebabkan oleh paparan PM 2.5 yang jauh melebihi batas standar kualitas udara di India. Sedangkan 29,7% keguguran disebabkan polusi udara jauh melebihi ambang batas pedoman WHO.
India menetapkan nilai ambang batas (NAB) PM2.5 sebesar 40 mikrogram/m3, sedangkan NAB WHO yakni tidak melebihi 10 mikrogram/m3.
Apa itu PM2.5?
PM 2.5 adalah partikel halus di udara yang berukuran 2,5 mikron atau berukuran setipis rambut dibelah 30.
Saking halusnya partikel ini, kita tidak akan sadar telah menghirupnya setiap hari, bahkan masker medis berwarna hijau yang sering kita gunakan tidak mempan menyaring partikel ini.
Paparan PM2.5 dapat menyebabkan efek kesehatan jangka pendek seperti iritasi mata, hidung, tenggorokan dan paru-paru, batuk, bersin, pilek dan sesak napas. Partikel halus ini mampu masuk ke saluran pernapasan, mempengaruhi fungsi paru, dan memperburuk kondisi medis seperti asma hingga penyakit jantung.
Setiap negara menetapkan ambang batas PM 2.5 yang berbeda-beda. Organisasi kesehatan dunia (WHO) menetapkan pedoman bahwa rata-rata tahunan PM 2.5 tidak melebihi 10 mikrogram/m3 (μg/m3).
Studi yang dilakukan Peking University ini menyebut kadar polusi udara PM 2.5 yang berakibat keguguran atau stillbirth pada ibu hamil jauh lebih tinggi dari ambang batas WHO.
Indonesia mematok nilai ambang batas PM2.5 sebesar 65 mikrogram/m3. Meski sudah mematok NAB melebihi batasan WHO, polusi udara melebihi ambang batas nasional menjadi udara sehari-hari penduduk di kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta.
Data Greenpeace Indonesia, 10 April-4 Juni 2020, tingkat PM2.5 di Jakarta berada di kategori tidak sehat untuk kelompok sensitif. Bahkan 24 hari diantaranya berada diambang batas tidak sehat. Padahal saat itu Indonesia tengah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berdampak pada pengurangan jumlah kendaraan bermotor yang beroperasi.
Menurut Greenpeace, polusi udara sedikitnya meningkatkan risiko kematian dini di Indonesia sebanyak 66.500 jiwa setiap tahunnya.
The post Polusi Udara di Asia Selatan Meningkatkan Risiko Keguguran dan Stillbirth appeared first on Hello Sehat.