Polusi udara tercatat telah membunuh setidaknya 4 juta orang setiap tahunnya. Pada masa pandemi, polusi udara menjadi salah satu faktor meningkatkan risiko keparahan gejala pada pasien COVID-19. Polusi memperburuk tingkat kesakitan dan risiko kematian.
Selain berpengaruh terhadap kesehatan orang-orang yang telah lama menghirup udara tercemar, para ahli menduga partikel polusi udara juga bisa menjadi jalur penularan COVID-19 yang lebih masif.
Polusi udara memperbesar risiko perburukan gejala pasien COVID-19
Dalam sebuah studi, peneliti dari Harvard University menemukan bahwa peningkatan kandungan partikel polusi dalam udara, sekecil apapun, bisa meningkatkan risiko kematian pada pasien positif COVID-19.
Dalam studi tersebut, peneliti melakukan pengamatan pada 3.080 wilayah di Amerika Serikat. Peneliti menemukan, pasien COVID-19 yang telah tinggal 15-20 tahun di wilayah dengan polusi tinggi memiliki potensi kematian lebih tinggi dibanding wilayah rendah polusi.
Risiko kematian akibat COVID-19 jadi lebih besar di wilayah dengan kandungan polusi PM 2,5 yang melebihi ambang batas. Namun studi ini belum ditinjau rekan sejawat (peer review).
“Bukti yang kami miliki cukup jelas, pasien yang tinggal di wilayah yang lebih tercemar polusi dalam waktu yang lama cenderung meninggal karena virus corona (SARS-CoV-2),” ujar Aaron Bernstein, direktur Pusat Iklim, Kesehatan, dan Lingkungan Global di Harvard University.
Angka pedoman organisasi kesehatan dunia (WHO) mematok ambang batas aman PM 2,5 adalah 25 mikrogram/m3 dalam waktu 24 jam. Sedangkan Jakarta selama beberapa tahun terakhir selalu memiliki kandungan polusi PM 2,5 melebihi ambang batas aman yang ditentukan WHO.
Hari ini Minggu (6/9) misalnya, AirVisual mencatat angka polusi PM 2,5 Jakarta berada di 69,6 mikrogram/m3.
“Anda dapat memilih kota mana pun di dunia dan berharap melihat efek polusi udara pada risiko orang menjadi lebih sakit dari COVID-19,” Aaron Bernstein.
Apa itu polusi PM 2,5 dan bagaimana mempengaruhi pasien COVID-19?
Particulate matter (PM), PM adalah partikel polusi yang bisa masuk hingga ke dalam pembuluh darah dan paru-paru. Jika bersentuhan dengan PM dapat menyebabkan masalah iritasi pada mata, tenggorokan, paru-paru, dan dapat menyebabkan masalah pernapasan. Partikel polusi ini juga dapat mengganggu fungsi paru dan memperburuk kondisi kesehatan orang dengan asma dan penyakit jantung.
PM 2,5 berukuran 2,5 mikrometer, yakni sekitar 10 kali lebih kecil dari sehelai rambut manusia. Sangat kecil dan tak kasat mata hingga bisa menembus masker bedah atau masker kain yang biasa kita pakai.
Xiao Wu, kepala peneliti dalam studi tersebut, mengatakan risiko peningkatan kematian pada pasien COVID-19 yang hidup di wilayah tinggi polusi berkaitan dengan penyakit pernapasan dan penyakit jantung.
Berbagai penelitian telah membuktikan bahaya polusi udara pada kesehatan tubuh manusia. Paparan polusi udara membuat orang berisiko tinggi terkena kanker paru-paru, serangan jantung, stroke, dan bahkan kematian dini.
Polusi udara juga dapat menyebabkan hipertensi, diabetes, dan penyakit pernapasan. Tiga penyakit ini disebut sebagai beberapa penyebab utama memburuknya gejala dan risiko kematian akibat COVID-19.
Selain bisa menyebabkan sejumlah masalah infeksi pernapasan, polusi udara dapat menurunkan daya tahan tubuh seseorang. Daya tahan tubuh yang lemah ini dapat membahayakan kemampuan seseorang dalam melawan infeksi penyakit.
Inilah alasan menghirup udara yang penuh polusi dapat membuat gejala bertambah parah bagi pasien yang terinfeksi COVID-19.
Sebelum pandemi COVID-19, polusi udara juga berkaitan dengan risiko keparahan gejala pasien SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) yang mewabah pada tahun 2003-2014. Studi tersebut menyebut pasien SARS yang telah lama tinggal di wilayah berpolusi, 84% lebih berisiko meninggal dibanding dengan pasien di wilayah dengan polusi rendah.
The post Polusi dapat Meningkatkan Risiko Gejala Berat COVID-19 appeared first on Hello Sehat.