“Kamu kan positif HIV/AIDS, gimana kalau anak yang kamu kandung nanti tertular HIV juga?” Pertanyaan tersebut seringkali hinggap di telinga saya sejak saya berkata ingin hamil hingga selama menjalani program kehamilan. Namun saya tahu bahwa saya memiliki kesempatan dan kemungkinan untuk melahirkan anak sehat tanpa terinfeksi HIV. Inilah pengalaman saya hamil dan melahirkan sebagai pengidap HIV/AIDS.
Dinyatakan HIV/AIDS positif dua bulan setelah melahirkan
Umur saya baru 17 tahun ketika saya pertama kali melahirkan. Pengalaman pertama yang sungguh-sungguh terasa berat dijalani.
Saat itu saya melahirkan bayi kembar, tapi mereka harus dirawat di neonatal intesive care unit (NICU) karena berat badan keduanya terlampau rendah. Di tengah rasa sakit sehabis melahirkan dengan jahitan bekas operasi sesar yang masih basah, saya harus bolak-balik ke dua rumah sakit.
Pertama, saya harus mengantar ASI untuk bayi kembar saya. Setelah itu saya harus mengurus suami yang sedang dirawat di rumah sakit berbeda. Di usia belia itu saya harus menjalani peran sebagai ibu sekaligus istri.
Selama satu bulan setelah saya melahirkan, suami saya tiga kali dirawat karena dua penyakit berbeda. Pertama dan kedua, ia dirawat karena terserang tifus. Kali ketiga ia dirawat karena terkena tuberkulosis (TB).
Suatu ketika dokter yang merawat suami saya memanggil saya ke ruangannya. Ia memberitahu bahwa suami saya terinfeksi virus HIV dan menduga bahwa saya juga kemungkinan terinfeksi HIV. Saya merespons informasi itu dengan diam dan mengangguk saja, tanpa sekalipun bertanya-tanya apa itu HIV. Tak ada takut ataupun terkejut.
Saya yang hanya lulusan SMP tak tahu apa-apa tentang penyakit itu, baik HIV maupun tuberkulosis. Saya pun mengabaikan anjuran dokter agar saya juga menjalani pemeriksaan HIV. Saya merasa diri saya baik-baik saja, sehat tanpa keluhan sakit apapun. Belum lagi, saya pikir pemeriksaan HIV hanya akan buang-buang uang. Saya tak mau.
Kabar buruk tak berhenti di situ. Suami saya meninggal dunia sebulan kemudian. Rasanya saya ingin merutuk, mengapa semua ini harus menimpa diri saya?
Dokter menjelaskan ulang dengan lebih detail tentang penyakit yang diderita oleh suami saya hingga meninggal. Dia juga memaparkan bagaimana risiko penularan penyakit tersebut pada saya dan termasuk bayi kembar yang baru saya lahirkan. Dokter itu kembali meminta saya menjalani pemeriksaan HIV, termasuk memeriksakan si kembar.
Akhirnya saya memeriksakan diri dan, benar dugaan dokter tersebut, saya telah terinfeksi HIV. Saya tak memeriksakan si kembar. Saya tak cukup punya nyali menghadapi risiko kabar buruk lain yang mungkin saya terima. Pernyataan bahwa saya telah terinfeksi virus ini saja sudah membuat pikiran saya kacau.
Kenyataan bahwa penyakit ini tak bisa disembuhkan membuat saya semakin terpuruk setelah didera kenyataan pahit berkali-kali. Kondisi mental membuat saya membiarkan si kembar diurus oleh keluarga.
Meski terdengar sebagai pembelaan diri, tapi kemalangan yang saya alami bertubi-tubi di usia tersebut membuat saya mencari pelarian pada obat-obatan dan alkohol. Saya ingin lari dan bersembunyi dari rasa takut yang terasa menyiksa. Saya takut akan masa depan saya, terlebih saya takut akan kemungkinan si kembar juga terinfeksi HIV. Bagaimana nasib anak saya nanti?
Selama satu tahun hidup saya seperti layangan putus, melayang-layang tak tentu arah. Hingga akhirnya saya sadar bahwa saya memiliki anak kembar yang menjadi tanggung jawab saya. Akhirnya saya menelepon salah seorang kerabat dan meminta tolong untuk membawa si kembar untuk menjalani pemeriksaan HIV.
Kabar tak terduga itu datang, kedua anak saya negatif HIV. Sungguh sebuah keajaiban, kabar gembira yang membuat saya kembali bersemangat.
Bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang tidak meminum obat antivirus HIV atau antiretroviral (ARV) selama hamil, peluang melahirkan bayi negatif HIV adalah 60-65%. Jadi kemungkinan kedua bayi kembar saya terinfeksi HIV sebesar 35-40%.
Namun, jika ibu dengan HIV/AIDS rajin melakukan terapi obat sebelum dan selama merencanakan kehamilan, maka risiko penularan HIV secara vertikal hanya 0,2%. Saya merasa bahagia mendengar kabar tersebut. Seakan-akan ada harapan baru bagi saya dan si kembar.
Kehamilan kedua setelah rutin minum obat
Kabar baik tersebut memberi kekuatan saya untuk bangkit. Saya mulai mencari pertolongan terkait terapi obat bagi ODHA. Untuk itu saya pergi ke puskesmas hingga akhirnya mengenal perkumpulan para ODHA dan Yayasan Pelita Ilmu (YPI).
Bersama rekan sesama ODHA, kami saling menguatkan. Saya pun rutin meminum obat ARV secara teratur.
Sembilan tahun setelah ditinggal suami, saya menikah lagi dengan seorang pria yang juga HIV positif. Tapi keharmonisan rumah tangga kami hanya berlangsung sesaat. Banyaknya perbedaan yang kami rasakan membuat pertengkaran demi pertengkaran terjadi terus menerus.
Di tengah kondisi rumah tangga yang karut marut, saya dinyatakan hamil. Kehamilan yang saya sadari setelah lebih dari dua minggu telat datang bulan. Namun ini merupakan kehamilan yang tak direncanakan.
Bagi pasangan ODHA, kehamilan seharusnya direncanakan sebaik mungkin dengan mengikuti program PMTCT (Prevention of mother-to-child transmission). Program ini dirancang untuk mencegah penularan HIV/AIDS secara vertikal dari ibu ke janin yang dikandungannya selama kehamilan.
Meski begitu, tak banyak kekhawatiran yang saya rasakan. Meskipun banyak orang mencemaskan apakah bayi yang saya kandung akan terinfeksi atau tidak. Saya sudah cukup paham mengenai kondisi kesehatan diri sendiri.
Saya dan suami sama-sama rajin minum obat ARV hingga jumlah virus dalam tubuh kami tidak lagi terdeteksi. Sehingga saya yakin peluang saya melahirkan anak negatif HIV itu sangat besar.
Namun, kehamilan ini nyatanya tak juga membawa kedamaian dalam rumah tangga saya. Suami saya malah menuding anak yang saya kandung adalah hasil perselingkuhan, hal yang tak pernah saya lakukan.
Saya tak mau menghabiskan energi untuk meladeni tuduhan tersebut. Maka saya memilih menjalani proses kehamilan ini seorang diri. Setiap bulan saya pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatan kandungan.
Anak Mengidap Penyakit Langka Karena Kami Pasangan Sedarah
Tapi bagaimana pun, proses ini sungguh berat untuk dijalani. Berulang kali pikiran buruk untuk menggugurkan kandungan hinggap di kepala saya. Berkali-kali pula saya menghalau niatan buruk tersebut.
Hingga kehamilan memasuki usia 32 minggu, saya dianjurkan untuk melakukan operasi sesar. Meskipun ODHA dapat melahirkan anak secara normal, namun kondisi kandungan saya yang tak menunjukkan tanda kontraksi dinyatakan tidak memungkinkan untuk lahiran secara normal.
Keputusan saya untuk rutin memeriksakan diri, terapi minum obat, dan tidak menggugurkan kandungan, saya rasa adalah pilihan yang tepat. Saya melahirkan putri yang sehat dan tak terinfeksi HIV.
Wajah bayi saya yang begitu mirip dengan ayahnya pun merupakan bukti bahwa saya tak pernah selingkuh. Namun kenyataan itu tak dapat mengembalikan nasib pernikahan kami yang telanjur hancur.
Efi (29) bercerita untuk pembaca Hello Sehat.
Memiliki kisah atau pengalaman kehamilan yang menarik dan inspiratif? Mari berbagi cerita bersama para orang tua lain di sini.
The post Pengalaman Saya Bisa Hamil dan Melahirkan Anak yang Sehat Meski Terinfeksi HIV/AIDS appeared first on Hello Sehat.