Malam itu, tepat pukul 20:00 WIB saya melahirkan secara normal seorang bayi laki-laki. Suara tangis pertamanya melenyapkan semua rasa sakit dan lelah akibat mengejan. Saya lega dan sunggung bahagia. Tapi rasa suka cita itu terenggut begitu cepat. Virus demam berdarah yang sempat menginfeksi ketika saya hamil 4 bulan ternyata telah memasuki tubuh si bayi. Ini cerita pengalaman saya terkena demam berdarah saat hamil.
DBD saat hamil, tapi USG menunjukkan janin berkembang baik
Peristiwa ini terjadi pada kehamilan kedua saya sekitar tiga tahun yang lalu. Saya terinfeksi demam berdarah ketika kehamilan saya berusia 4 bulan. Saat itu kasus demam berdarah di sekitar wilayah tempat tinggal memang cukup banyak. Anak pertama saya dan beberapa teman sekolahnya juga terkena demam berdarah dalam waktu yang hampir bersamaan.
Saya pun menemani anak saya yang dirawat di rumah sakit. Selang berapa hari baru diketahui bahwa saya juga terinfeksi virus Dengue dan membuat saya harus turut dirawat di rumah sakit tersebut.
Proses penyembuhan itu berjalan lancar tanpa kendala. Saat itu sama sekali tak ada keluhan berat yang saya rasakan. Kandungan saya pun terasa baik-baik saja, tidak sakit dan tak ada pendarahan terjadi.
Saya merasa perawatan selama saya hamil dan menderita demam berdarah tak berbeda dengan orang lain yang tidak hamil. Selain itu tak ada informasi khusus yang saya peroleh tentang bahaya DBD saat hamil.
Selain itu, saya juga tak bertanya apapun dan memercayakan semuanya kepada petugas media. Apapun perawatan yang mesti saya lakukan maka saya jalani. Oleh karena itu tak ada pikiran buruk yang membuat saya cemas saat itu.
Setelah sembuh dari demam berdarah, saya melakukan kunjungan kepada bidan untuk memeriksakan kehamilan seperti biasa. Kepadanya saya bercerita tentang kondisi saya yang baru pulih dari infeksi DBD. Bidan itu berkata bahwa DBD pada ibu hamil bisa menyebabkan keguguran, pendarahan, bayi meninggal di perut, pertumbuhan bayi tidak sempurna atau lahir cacat, dan lahir prematur.
Informasi tersebut sontak membuat saya terkejut dan khawatir. Saya tak mengalami keguguran dan juga tak merasa ada keanehan pada kehamilan saya. Pikiran buruk bahwa ada kemungkinan timbul gangguan pada pertumbuhan organ janin saya pun datang.
Demi memastikan bayi saya sehat dan mengurangi rasa khawatir itu, setiap bulan saya melakukan USG (ultrasonografi) 4 dimensi. Hasilnya ternyata janin saya berkembang dengan baik, anggota tubuhnya lengkap, dan detak jantungnya normal. Saya merasa lega.
Selain itu saya juga bisa melewati risiko kelahiran prematur. “Alhamdulillah DBD tidak memengaruhi kesehatan janin dalam kandungan saya,” pikir saya pada waktu itu. Namun hal yang tak pernah saya duga sebelumnya justru terjadi kemudian.
Terserang tifus sebelum melahirkan
Setelah terkena demam berdarah, saya mengalami tifus ketika usia kehamilan masuk ke minggu 38. Sampai hari melahirkan saya masih mengalami demam. Meski begitu saya kuat untuk melahirkan secara normal di klinik persalinan.
Bayi laki-laki kami saat itu lahir dengan berat 3,2 kg dan tinggi 5,1 cm. Kami beri nama Muhammad Nursyahid. Kebahagiaan dan rasa lega saya rasakan ketika mendengar suara tangisnya. Kebahagiaan yang begitu singkat.
Suara tangis bayi saya terdengar pelan, tidak senyaring suara bayi saya yang pertama. Rasa khawatir perlahan tumbuh di hati saya. Ternyata ada yang tidak beres. Bayi kami segera dilarikan ke rumah sakit karena detak jantungnya tidak normal dan ia mengalami kesulitan bernapas.
Nursyahid yang baru berusia beberapa menit itu dibawa ke Rumah Sakit Mitra Keluarga Cibubur, rumah sakit terdekat dengan lokasi saya. Tapi ruang NICU (neonatal intensive care unit) di rumah sakit tersebut sudah penuh. Ruang NICU adalah ruangan khusus bayi baru lahir dengan gangguan kesehatan serius dan dalam masa kritis.
Bayi kami kemudian harus pindah ke Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi menggunakan ambulans. Ia didampingi ayahnya dan dokter spesialis.
“Si dedek sudah stabil di ruang NICU. Kamu istirahat ya, besok pagi baru ke sini,” kata suami saya ketika ia menelepon sekitar pukul 12 malam. Namun momen tersebut tak pernah terjadi.
Selang 1 jam setelah panggilan telepon, saya kembali ditelepon oleh suami saya. Nursyahid dikabarkan meninggal. Harapan untuk bisa menimangnya esok pagi lenyap sudah.
Satu-satunya kesempatan saya untuk memeluk bayi laki-laki saya itu adalah ketika jenazahnya hendak dibawa pulang untuk dimakamkan. Itu adalah kali pertama dan terakhir saya mendekap buah hati saya. Saya bahkan tak mampu mengantarkannya ke peristirahatan terakhir karena kondisi saya yang belum pulih sepenuhnya.
Setelah keadaan lebih tenang, suami bercerita bahwa virus demam berdarah dan bakteri tifus telah menginfeksi jabang bayi serta menyerang organ tubuhnya. Saya tak kuasa menahan tangis dan rasa bersalah. Rasa sesak menumpuk di dada.
Kata dokter, jika Nursyahid selamat maka ia akan tumbuh dengan kondisi spesial. Entah itu mudah sakit, mudah terluka dan berdarah, atau lainnya, yang pasti kondisi kesehatannya akan lemah.
Trauma setelah mengalami infeksi demam berdarah saat hamil
Sakit fisik sehabis melahirkan ditambah demam yang tak kunjung turun bukan apa-apa jika dibandingkan sakit psikologis yang harus saya lalui saat itu. Perasaan bersalah karena tak bisa menjaga kesehatan saat hamil membuat saya merasa terpuruk.
Saya merasa bersalah pada anak saya yang tak bisa berumur lebih panjang. Saya juga merasa bersalah pada suami karena tak menjaga bayi dalam kandungan saya. Rasa bersalah itu semakin bertambah berat dengan komentar banyak orang yang menambah luka di hati saya.
Ada yang berkata bahwa saya mengorbankan kesehatan diri sendiri dan kandungan karena bekerja, mencari uang mati-matian. Komentar lain yang lebih melukai perasaan saya adalah tudingan bahwa saya sengaja menjadikan anak sebagai tumbal pesugihan. Naudzubillah.
Kondisi tersebut membuat saya semakin sulit dalam melewati masa duka, menyembuhkan diri saya baik secara fisik maupun psikis. Terlebih, setelah peristiwa tersebut, saya dan suami jadi lebih sering bertengkar.
Meski kami sama-sama tahu bahwa seharusnya kami saling menguatkan, namun beban psikologis ini membuat kami kacau. Situasi rumah tangga kami jadi lebih sering panas.
Menghadapi kondisi rumah tangga tersebut, suami saya menganjurkan untuk kembali mencoba program hamil dalam waktu dekat. Kami juga melakukan konseling ke guru agama untuk menenangkan dan menghilangkan segala pikiran buruk dan negatif selama ini.
Tiga bulan kemudian saya hamil.
Kondisi kehamilan itu bagi saya terasa sangat melelahkan. Saya masih merasa trauma akibat kegagalan yang saya alami sebelumnya karena mengalami infeksi demam berdarah saat hamil. Namun saya harus berjuang, demi saya sendiri dan juga rumah tangga kami.
Agar tak terulang peristiwa serupa, semua anjuran pencegahan demam berdarah di rumah saya jalankan. Saya memasang jaring nyamuk, tak ada satu pun pakaian yang menggantung, bahkan saya memisahkan lemari pakaian dari ruang tidur.
Selain itu saya juga lebih sering memeriksakan kandungan dari sebelumnya. Saya minum semua vitamin yang dianjurkan oleh dokter dan mengonsumsi semua makanan sehat. Semua itu saya lakukan demi menjaga kandungan saya dan menghilangkan rasa takut yang masih bersarang.
Meski begitu, kekhawatiran dan berbagai pikiran negatif masih sering muncul dan membuat saya demam tinggi. Tapi semua itu harus saya hadapi. Puji syukur saya bisa melewati masa kehamilan dengan sehat dan selamat.
Keputusan kami untuk segera program hamil setelah kehilangan anak kedua, saya rasa adalah keputusan terbaik. Lahirnya anak ketiga kemudian menyembuhkan rasa trauma pada diri saya. Itulah pengalaman saya terinfeksi demam berdarah saat hamil.
Fatimah (34) bercerita untuk pembaca Hello Sehat.
The post Demam Berdarah saat Hamil, Virusnya Menginfeksi Janin Saya appeared first on Hello Sehat.