5 Masalah Gizi yang Mungkin Terjadi pada Bayi Serta Cara Penanganannya

6 min read

Sejak awal kelahiran, memerhatikan segala asupan nutrisi harian merupakan salah satu hal penting untuk mencukupi kebutuhan gizi bayi. Sayangnya, asupan gizi harian bayi kadang bisa tidak sesuai dengan kebutuhannya sehingga menimbulkan masalah pada tumbuh kembang si kecil. Apa saja gangguan atau masalah gizi yang berisiko dialami oleh bayi?

Berbagai masalah gizi pada bayi

Status gizi bayi sejatinya sudah mulai terbentuk sejak ia berada di dalam kandungan hingga usianya genap dua tahun. Rentang waktu tersebut juga dikenal dengan nama 1000 hari pertama kehidupan dimulai sejak awal kehamilan atau periode emas.

Selama 1000 hari pertama atau periode emas tersebut, diharapkan bayi memperoleh asupan zat gizi harian yang sepadan dengan kebutuhannya.

Alasannya karena selama 1000 hari pertama, pertumbuhan tubuh dan otak si kecil sedang berkembang dengan sangat pesat.

Asupan gizi yang cukup selama di dalam kandungan sampai usia bayi menginjak dua tahun akan membuatnya lahir dan tumbuh dengan baik.

Sebaliknya, jika asupan gizi bayi tidak terpenuhi secara optimal, kondisi ini bisa mengakibatkan tumbuh kembangnya mengalami hambatan.

Bahkan, terhambatnya tumbuh kembang si kecil tersebut bisa saja sulit diperbaiki hingga akhirnya berpengaruh pada masa dewasanya kelak.

Tak menutup kemungkinan, bayi bisa mengalami masalah gizi akibat dari asupan nutrisi harian yang kurang memadai. Agar lebih paham, berikut beberapa masalah gizi pada bayi yang mungkin terjadi:

1. Masalah gizi berat badan bayi lahir rendah

marfan syndrome adalah sindrom marfan

Berat badan lahir rendah (BBLR) adalah salah satu masalah gizi pada bayi. Sesuai namanya, kondisi berat badan lahir rendah ini terjadi ketika bayi yang baru lahir memiliki berat badan di bawah rentang normal.

Idealnya, bayi baru lahir tergolong memiliki berat badan normal jika hasil pengukuran ada di rentang 2,5 kilogram (kg) atau 2.500 gram (gr) sampai dengan 3,5 kg atau 3.500 gr.

Jadi, apabila berat badan bayi baru lahir yang berada di bawah 2.500 gram, menandakan bahwa ia mengalami masalah gizi berupa BBLR.

Namun, Anda perlu ingat bahwa rentang berat badan normal tersebut berlaku untuk bayi baru lahir di usia kehamilan 37-42 minggu.

Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDAI), beberapa kelompok berat badan lahir rendah pada bayi yakni:

  • Berat badan lahir rendah (BBLR): berat lahir kurang dari 2.500 gr (2,5 kg)
  • Berat badan lahir sangat rendah (BBLSR): berat lahir di rentang 1.000 sampai kurang dari 1.500 gr (1 kg hingga kurang dari 1,5 kg)
  • Berat badan lahir amat sangat rendah (BBLASR): berat lahir kurang dari 1.000 gr (kurang dari 1 kg)

Tindakan penanganannya

Cara perawatan untuk masalah pada bayi dengan berat badan lahir rendah biasanya disesuaikan kembali dengan gejala, usia, dan kesehatan tubuhnya secara umum.

Dokter nantinya juga akan menilai seberapa parah kondisi si kecil untuk menentukan tindakan penanganan yang tepat.

Mengutip dari University of Rochester Medical Center, perawatan untuk masalah pada bayi dengan berat badan lahir rendah, yakni:

  • Bayi mendapat perawatan khusus di neonatal intensive care unit (NICU)
  • Pemantauan pada suhu ruangan tidur bayi
  • Bayi diberikan makanan khusus, entah melalui selang yang mengalir langsung ke perut atau selang infus yang masuk ke pembuluh darah
Baca Juga :  Berbahan Dasar Madu dan Jintan Hitam, Sabun Halal ala Alyssa Soebandono

Selain itu, badan kesehatan dunia WHO menyarankan pemberian ASI pada bayi yang mengalami BBLR sejak baru lahir. Bahkan, akan lebih baik lagi jika pemberian ASI diteruskan selama enam bulan penuh alias ASI eksklusif.

2. Masalah gizi bayi kurang

ciri ciri bayi buta

Gizi kurang termasuk satu dari beberapa masalah gizi pada bayi yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan energi dan kebutuhan gizi harian.

Dengan kata lain, asupan harian bayi dengan gizi kurang cenderung lebih sedikit dan tidak mampu mencukupi kebutuhan tubuhnya.

Berdasarkan Permenkes No. 2 Tahun 2020 tentang Standar Antropometri Anak, bayi termasuk dalam kelompok gizi kurang saat pengukuran berat badan menurut tinggi badannya berada di bawah normal.

Begini, pengukuran berat badan dan tinggi badan bayi memiliki satuan bernama standar deviasi (SD).

Normalnya, bayi dikatakan memiliki gizi baik saat berat badan berdasarkan tinggi badannya berada di rentang -2 SD sampai dengan 2 SD.

Sementara jika si kecil mengalami gizi kurang, pengukurannya berada di rentang -3 SD  sampai kurang dari -2 SD.

WHO menjelaskan lebih lanjut bahwa masalah kurang gizi pada bayi dapat mencakup stunting, wasting, berat badan rendah, hingga kekurangan vitamin dan mineral.

Padahal, mineral dan vitamin untuk bayi termasuk sebagian kecil zat gizi yang asupannya tidak boleh kurang. Masalah gizi kurang pada bayi bukan terjadi secara tiba-tiba, melainkan telah terbentuk akibat kekurangan gizi dalam waktu yang cukup lama.

Bayi yang mengalami gizi kurang bisa saja telah mengalami ketidakcukupan nutrisi sejak dalam kandungan maupun sejak dilahirkan.

Kondisi ini bisa saja disebabkan oleh asupan gizi bayi yang kurang maupun karena bayi susah makan.

Tindakan penanganannya

Bayi yang mengalami gizi kurang sangat dianjurkan untuk mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan penuh. Namun, penanganan tersebut hanya berlaku untuk bayi yang masih berusia di bawah enam bulan.

Sementara untuk bayi di atas enam bulan dengan kondisi gizi kurang bisa diatasi dengan cara pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) yang lengkap.

Lengkap di sini berarti dapat memenuhi semua kebutuhan nutrisi si kecil. Selain itu, Anda dianjurkan untuk tidak melewatkan makanan selingan atau camilan bayi di sela-sela waktu makan utamanya.

Jika perlu, bayi bisa diberikan MPASI yang telah difortifikasi atau ditambahkan aneka zat gizi guna melengkapi kebutuhan hariannya.

Sesuaikan juga menu MPASI dengan selera makan bayi untuk membantu meningkatkan nafsu makannya.

3. Masalah gizi buruk pada bayi

bayi 6 bulan susah bab

Masalah gizi lainnya pada bayi yakni gizi buruk. Gizi buruk adalah keadaan saat berat badan berdasarkan tinggi badan bayi berada jauh dari rentang yang seharusnya.

Permenkes No. 2 Tahun 2020 tentang Standar Antropometri Anak menjabarkan bahwa pengukuran bayi dengan kategori gizi buruk yakni kurang dari -3 SD.

Sama halnya seperti gizi kurang yang mencakup beberapa masalah, gizi buruk pun demikian.

Masalah gizi buruk pada bayi dapat dibagi menjadi kwashiorkor, marasmus, dan marasmus-kwashiorkor.

Baca Juga :  Alasan Psikologis Mengapa Pria Lebih Sulit Menangis Dibanding Wanita

Marasmus adalah kondisi gizi buruk karena asupan energi tidak tercukupi. Kwashiorkor adalah masalah gizi buruk yang disebabkan oleh kurangnya asupan protein pada bayi.

Sementara marasmus-kwashiorkor merupakan gabungan dari keduanya yakni masalah karena asupan protein dan energi kurang dari yang seharusnya.

Tindakan penanganannya

Pengobatan masalah gizi buruk pada bayi nantinya akan disesuaikan kembali dengan kondisinya, misalnya mengalami marasmus, kwashiorkor, atau marasmus kwashiorkor.

Jika bayi mengalami marasmus, penanganannya bisa dilakukan dengan memberikan susu formula F 75.

Susu formula F 75 diolah dari gula, minyak sayur, serta protein susu bernama kasein yang dicampur menjadi satu.

Selain itu, asupan makanan bayi setiap harinya juga akan diatur agar mengandung zat gizi yang cukup, termasuk kalori dan serta karbohidrat guna memenuhi kebutuhan energinya.

Seperti bayi dengan marasmus, masalah gizi buruk berupa kwashiorkor pada bayi juga membutuhkan pemberian susu formula F 75.

Namun, pemberian makanan harian biasanya akan sedikit berbeda karena si kecil sebaiknya mendapat makanan sumber kalori meliputi gula, karbohidrat, serta lemak.

Setelah itu, baru bayi boleh diberikan sumber makanan dengan kandungan protein yang tinggi guna mencukupi kebutuhannya yang kurang.

Begitu pula dengan penanganan kasus marasmus-kwashiorkor pada bayi yang bisa dilakukan dengan menggabungkan kedua pengobatan sebelumnya.

Anda harus mengonsultasikan ke dokter untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

4. Masalah gizi lebih pada bayi

kebutuhan lemak untuk bayi

Masalah gizi lainnya yang juga bisa dialami bayi yaitu kelebihan gizi. Kelebihan gizi alias gizi lebih adalah kondisi saat berat badan berdasarkan tinggi badan si kecil berada di atas rentang normalnya.

Bayi dengan gizi lebih bisa memiliki salah satu dari dua kondisi, yaitu antara berat badan lebih (overweight) dan obesitas pada bayi.

Bayi dikatakan memiliki berat badan lebih saat pengukurannya berada di rentang +2 SD sampai +3 SD. Sementara untuk obesitas berbeda dengan gemuk biasa karena berada di atas pengukuran +3 SD.

Tindakan penanganannya

Cara terbaik untuk menangani masalah gizi lebih pada bayi yakni dengan mengatur asupan makanan dan minuman hariannya.

Sebisa mungkin, Anda perlu menjaga asupan makanan dan minuman harian si kecil agar berat badannya tidak semakin meningkat.

Ganti selingan seperti roti yang manis dengan memberikan buah-buahan untuk bayi. Bayi usia 0-2 tahun yang mengalami obesitas tidak perlu mengurangi asupan kalori harian.

Dokter biasanya lebih menganjurkan untuk mempertahankan sekaligus mengurangi peningkatan berat badan.

Jadi, sebaiknya Anda tetap mengontrol jumlah kalori yang sesuai agar tidak berlebih. Ini karena di masa 0-2 tahun ini, bayi sedang dalam proses pertumbuhan linier.

Artinya, status gizi anak di masa depan atau saat ia dewasa akan sangat ditentukan oleh kondisinya saat ini.

Bila usia bayi saat ini sudah masuk ke masa pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) tetapi porsi dan jadwal MPASI bayi di luar aturan normal, coba benarkan kembali.

Berikan frekuensi serta porsi makan bayi yang tepat sesuai dengan usianya.

Jika ternyata dokter menyarankan agar si kecil mengurangi asupan kalori harian, biasanya buah hati Anda akan mendapatkan anjuran menu khusus.

Baca Juga :  5 Tips Jitu Menghilangkan Ngantuk Saat Kerja

Hal ini bertujuan agar kebutuhan bayi tetap terpenuhi dengan baik dan tidak menyebabkan kekurangan zat gizi tertentu yang berisiko menghambat tumbuh kembangnya.

5. Masalah gizi stunting pada bayi

Tay Sachs adalah

Stunting adalah gangguan pertumbuhan pada tubuh bayi. Kondisi ini membuat panjang atau tinggi badan bayi tidak sesuai dengan rata-rata anak seusianya.

Stunting pada bayi bukan hal yang bisa dianggap remeh. Jika tidak segera diketahui dan ditangani dengan tepat, stunting dapat membuat perkembangan fisik maupun kognitif bayi terhambat dan kurang optimal di kemudian hari.

Hal ini dikarenakan kondisi bayi yang mengalami stunting umumnya sulit kembali normal bila sudah terlanjur terjadi.

Penilaian stunting pada bayi dan anak biasanya dilakukan dengan memakai grafik pertumbuhan anak (GPA) dari badan kesehatan dunia WHO.

Bayi bisa dikatakan mengalami stunting saat hasil pengukuran panjang atau tinggi badan menunjukkan angka di bawah -2 standar deviasi (SD).

Standar deviasi adalah satuan yang dipakai dalam pengukuran panjang atau tinggi badan bayi. Masalah gizi stunting pada bayi dapat diakibatkan oleh berbagai faktor.

Faktor-faktor tersebut meliputi gizi ibu saat hamil, kondisi sosial ekonomi keluarga, asupan gizi bayi, hingga kondisi medis bayi.

Secara lebih rincinya, kondisi kesehatan dan asupan gizi ibu baik sebelum, selama, maupun setelah kelahiran dapat berpengaruh pada pertumbuhan bayi.

Selain itu, postur tubuh yang pendek, usia yang masih terlalu remaja untuk hamil, hingga jarak kehamilan yang terlalu dekat juga berisiko membuat bayi mengalami stunting.

Sementara pada bayi, pemberian ASI eksklusif yang gagal dan penyapihan (pemberian makanan padat) terlalu dini merupakan beberapa faktor penyebab stunting.

Tindakan penanganannya

Penanganan untuk masalah gizi stunting pada bayi dapat diupayakan dengan melakukan pola asuh (caring). Tindakan pola asuh ini mencakup inisiasi menyusui dini (IMD) saat baru lahir kemudian menyusui ASI eksklusif sampai usia bayi 6 bulan.

Selanjutnya, bayi juga harus diberikan makanan pendamping ASI (MPASI) sampai usia 2 tahun guna mendukung tumbuh kembangnya.

Jangan lupa perhatikan juga frekuensi pemberian ASI untuk bayi yang mengalami stunting, seperti:

Jika bayi menyusu ASI:

  • Usia 6-8 bulan: makan 2 kali per hari atau lebih
  • Usia 9-23 bulan: makan 3 kali per hari atau lebih

Jika bayi tidak menyusu ASI:

  • Usia 6-23 bulan: makan 4 kali per hari atau lebih

Ketentuan ini merupakan minimum meal frequency (MMF) alias frekuensi makan minimal. MMF dapat diberlakukan untuk bayi stunting berusia 6-23 bulan dalam semua kondisi.

Kondisi tersebut meliputi bayi usia 6-23 bulan yang mendapat atau tidak lagi mendapat ASI dan sudah makan MPASI (bentuk lunak, padat, maupun diberi susu formula bayi karena tidak lagi mendapat ASI).

Kondisi-kondisi tersebut di atas membutuhkan perhatian khusus dari dokter. Oleh karena itu Anda perlu mengonsultasikan ke dokter untuk penanganan lebih lanjut.

The post 5 Masalah Gizi yang Mungkin Terjadi pada Bayi Serta Cara Penanganannya appeared first on Hello Sehat.