Mengapa Kasus Kanker Serviks Masih Tinggi di Indonesia?

2 min read

Kanker serviks adalah salah satu jenis kanker yang paling bisa dicegah sejak dini. Menurut data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), skrining dan vaksinasi dapat mencegah sampai 90% kasus kanker serviks. Namun kasus kanker serviks di Indonesia masih tergolong tinggi. 

Pada 2018, menurut laporan Global Cancer Observatory Indonesia menempati urutan kedua kasus kanker serviks terbanyak di dunia dengan 32.469 kasus per tahun. Apa penyebab kasus kanker serviks masih banyak terjadi di Indonesia?

Kanker serviks, penyakit mematikan namun bisa dicegah

Kanker Serviks bisa Dicegah dan Dideteksi Dini

Kanker serviks adalah jenis kanker yang dijumpai di bagian serviks atau mulut rahim, organ berbentuk tabung yang menghubungkan antara vagina dan rahim.

Masalah terjadi terjadi ketika sel-sel abnormal berkembang dan membentuk tumor pada serviks. Tumor terbagi 2, jinak atau ganas. Adanya pertumbuhan tumor ganas di serviks ini yang kemudian disebut kanker serviks.

Hampir semua kasus kanker serviks terjadi karena infeksi dengan risiko tinggi dari human papillomavirus (HPV), virus yang umumnya menular melalui hubungan seksual. Dari ratusan jenis virus HPV, hanya ada 14 jenis yang dapat menyebabkan kanker. Di mana 70% kasus kanker serviks disebabkan oleh virus HPV tipe 16 dan 18. 

Saat ini penyakit kanker serviks menempati nomor 2 sebagai jenis kanker yang paling banyak diderita perempuan Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 31 Januari 2019, kasus kanker serviks terjadi pada 23,4 per 100.000 penduduk dengan rata-rata kematian mencapai 13,9 per 100.000 penduduk.

Baca Juga :  Abses Gigi

Meski termasuk jenis kanker mematikan, kanker serviks justru merupakan kanker yang bisa dicegah. Sayangnya informasi mengenai pencegahan dan deteksi dini belum banyak menjadi perhatian perempuan Indonesia. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor kanker serviks menempati posisi nomor 2 sebagai jenis kanker paling banyak diderita perempuan Indonesia dengan hampir separuh kasusnya menyebabkan kematian. 

Di negara-negara dengan program pencegahan dan skrining yang telah berjalan secara rutin, kasus kejadian kanker serviks sangatlah rendah. Seorang profesor dari Belanda yang pernah berkunjung ke rumah sakit tempat saya mengikuti pendidikan spesialis Obstetri dan Ginekologi di Sumatera Utara berkata bahwa beliau jarang menangani kasus kanker serviks. Begitupun yang dialami seorang dokter spesialis onkologi ginekologi dari Jepang, ia mengatakan jarang melakukan operasi histerektomi radikal atau prosedur bedah pengangkatan rahim atau leher rahim pada kasus kanker serviks.

Sedangkan di SMF kami, SMF Onkologi Ginekologi di Rumah Sakit Kanker Dharmais, sering sekali melakukan prosedur ini. Sekitar 5 operasi dalam sebulan.

Selain itu, pasien yang datang untuk kami tangani jarang sekali yang masih berada di stadium awal. Padahal tingkat kesintasan (survival) kanker serviks pada stadium awal tergolong tinggi. 

Baca Juga :  Bebaskan Si Kecil Berjalan “Nyeker” untuk Memperkuat Tulang Kakinya

Kondisi di RS Kanker Dharmais bisa menjadi cerminan bagaimana kesadaran pencegahan dan skrining kanker serviks berarti belum betul-betul berjalan. 

Pencegahan dan deteksi dini

deteksi dini dan cegah kanker serviks

Pencegahan dan deteksi dini kanker serviks bisa dilakukan dengan cara melakukan Pap smear. Yakni metode pemeriksaan leher rahim untuk mendeteksi kemungkinan kanker serviks.

Jika hasil tersebut menunjukkan keadaan yang sehat dan bebas dari kemungkinan kanker serviks, disarankan untuk melakukan vaksinasi virus HPV. Vaksin HPV tersedia bagi usia 9-26 tahun. 

Jadi bagi mereka yang sudah aktif secara seksual dan telah melakukan Pap smear dengan hasil sehat, disarankan untuk melakukan Pap smear satu tahun kemudian. Dan lebih baik lagi jika mengombinasikan pemeriksaan Pap smear dengan tes DNA virus HPV. 

Karena kanker serviks bisa dicegah dengan vaksinasi, jadi sayang sekali jika tidak melakukan skrining dan vaksinasi, terutama bagi perempuan yang sudah aktif secara seksual.

Kemungkinan sembuh sangat tinggi jika kanker serviks ditangani sejak awal 

pasien kanker serviks dicegah

Jika hasil tes Pap smear menunjukkan adanya kecurigaan pada kanker serviks, maka akan dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan mengambil sampel jaringan. Hasil Histopatologi jaringan ini yang menentukan sejauh mana kondisi pasien, apakah normal, prakanker, atau sudah masuk kanker. 

Pada stadium awal (stadium 1A), posisi tumor masih belum tampak (micro invasif). Pada level stadium 1B, tumor sudah tampak tapi belum menyebar ke mana-mana. Sedangkan stadium lanjut, yakni stadium 2B, tumor sudah menyebar ke parametrium. Kemudian pada stadium 3B, tumor sudah menyebar ke panggul, dan di tahapan stadium 4B maka tumor sudah menyebar ke organ jauh, seperti paru – paru. 

Baca Juga :  Bukan Karena “Gila”, Ini 3 Penyebab Seseorang Menangis Tanpa Sebab

Dalam penanganannya, semakin terlokalisir kanker maka semakin tinggi tingkat kesintasannya jika ditangani sesuai dengan prosedur medis. Semakin tinggi stadiumnya, penyakit tersebut semakin melibatkan organ tubuh lainnya sehingga semakin sulit pula penanganannya. #

Kondisi pre Kanker serviks tidak menunjukkan gejala signifikan, karena itu jangan menunggu ada gejala terlebih dulu untuk melakukan skrining. 

Data organisasi kesehatan dunia (WHO) menunjukkan, 90% kasus kejadian kanker serviks terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Kondisi ini disebabkan oleh buruknya akses skrining dan deteksi dini kanker, termasuk di Indonesia. Masih banyak yang harus dibenahi, karena sekali lagi, untuk penyakit yang bisa dicegah seharusnya angka kejadiannya bisa ditekan hingga angka yang sangat rendah. 

Peran pusat kesehatan dalam hal ini sangat penting untuk mewujudkan kesadaran pencegahan dan skrining kanker serviks, terutama di daerah-daerah.

The post Mengapa Kasus Kanker Serviks Masih Tinggi di Indonesia? appeared first on Hello Sehat.