Baca semua artikel tentang coronavirus (COVID-19) di sini.
Penanganan terhadap COVID-19 difokuskan pada kesehatan fisik, hanya sedikit yang menggambarkan kondisi kesehatan mental para pasien. Padahal saat ini kondisi kesehatan mental juga harus menjadi perhatian. Urgensi tersebut muncul setelah adanya beberapa kasus bunuh diri yang dilakukan pasien positif COVID-19 di pusat isolasi.
Pandemi COVID-19 ini secara umum memang memberikan tekanan pada semua aspek kehidupan masyarakat. Lelah, stres, cemas, ketakutan, frustasi, kesedihan, dan kesepian menjadi hal yang harus diwaspadai.
Kenapa kondisi pandemi berpengaruh menurunkan kesehatan mental hingga menimbulkan pikiran untuk mengakhiri hidup? Bagaimana upaya pencegahan yang bisa dilakukan?
Kasus pasien COVID-19 melakukan bunuh diri
Kasus pasien COVID-19 yang melakukan bunuh diri pertama kali terjadi Kamis (30/7). Pasien berusia 43 tahun diduga melompat dari lantai 6 ruang perawatan COVID-19 Rumah Sakit Umum Haji, Surabaya.
Setelah itu beberapa kasus bunuh diri yang dilakukan pasien positif COVID-19 di Indonesia dilaporkan terjadi setidaknya 3 kali.
- Rabu (5/8), pasien positif COVID-19 melompat dari lantai 12 Rumah Sakit Royal Prima, Medan. Pasien sudah menjalani masa isolasi dan perawatan di rumah sakit tersebut selama 11 hari.
- Kamis (3/9), pasien positif COVID-19 meninggal jatuh dari lantai 13 ruang rawat Rumah Sakit Universitas Indonesia. Korban sedang menjalani isolasi dan pengobatan virus corona sejak Jumat (27/8).
- Rabu (9/9), seorang pasien COVID-19 berusia 45 tahun melompat dari lantai 6 Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet dan langsung meninggal di tempat kejadian.
Dari beberapa kasus tersebut tidak pernah ada yang tahu pasti kenapa pasien COVID-19 memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Polisi mengatakan pasien mengalami stres karena tertular COVID-19 dan harus diisolasi.
Di negara lain kasus serupa juga terjadi. Bahkan bukan hanya pada pasien COVID-19, kasus bunuh diri terjadi pada petugas medis.
Kenapa pasien positif corona melakukan bunuh diri ?
Penanganan terhadap COVID-19 difokuskan pada kesehatan fisik, hanya sedikit yang menggambarkan kondisi kesehatan mental para pasien.
Peneliti di China pada Juni lalu menulis laporan kondisi kesehatan mental pasien COVID-19 yang melakukan percobaan bunuh diri. Dalam laporan tersebut diceritakan seorang pasien berusia 52 tahun dan 4 orang anggota keluarganya dinyatakan positif COVID-19.
“Meski pasien tidak memiliki riwayat depresi, ia mengira kelalaiannya sendiri telah menyebabkan beberapa anggota keluarga tertular virus SARS-CoV-2. Oleh karena itu, dia memiliki rasa bersalah yang kuat dan khawatir akan didiskriminasi oleh masyarakat,” tulis laporan tersebut.
Penelitian kondisi kesehatan mental pasien penyakit menular pernah dilakukan pada kasus wabah MERS dan SARS. Studi tersebut melaporkan 10% hingga 42% pasien MERS dan pasien SARS menderita kecemasan, depresi, dan gejala kesehatan mental lainnya. Kondisi ini terkait erat dengan keharusan isolasi, kemungkinan sembuh, dan ketakutan menularkan ke anggota keluarga.
“Melihat kasus-kasus ini, fasilitas rumah sakit sebetulnya perlu untuk memberikan pendampingan psikologis pada pasien. Penting untuk memberikan konseling psikologis tepat waktu dan efektif bagi pasien yang punya pemikiran bahwa mereka harus bertanggung jawab atas penularan penyakit pada orang-orang sekitarnya,” kata psikolog klinis Yayasan Pulih, Nirmala Ika pada Hello Sehat, Senin (14/9).
“Kebanyakan dari kita itu kan sering menganggap, ‘Ya, sudah ikhlaskan atau jalani saja’. Padahal untuk beberapa orang nggak bisa begitu dan membutuhkan bantuan profesional,” jelasnya.
Dalam studi lainnya, jurnal Suicide and Life-Threatening Behavior menggambarkan dampak pandemi COVID-19 terhadap populasi umum di Amerika Serikat.
Penelitian tersebut memperingatkan praktisi akan kemungkinan adanya penurunan kesehatan mental yang signifikan dalam beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun mendatang. Masalah ini berdampak pada tenaga kesehatan, pasien, keluarga, masyarakat secara umum.
207,203
147,510
8,456
Bagaimana menjaga kesehatan mental pada masa pandemi?
Sejauh ini hanya ada sedikit data mengenai pandemi COVID-19 dan dampaknya pada tingkat bunuh diri, terutama data di Indonesia. Tapi para profesional kesehatan mental telah banyak membahas mengenai situasi ini di berbagai media.
Pandemi telah menambah tekanan emosional dan mental dalam kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Ketakutan dan kecemasan bisa berasal dari berbagai kekhawatiran dan pengalaman, dari masalah langsung terkait dengan penyakitnya hingga risiko kehilangan pekerjaan.
“Pandemi tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik Anda tetapi juga kesehatan mental Anda. Orang bisa mulai merasa cemas, stres, bingung, takut, dan marah. Itu adalah emosi yang normal selama krisis, termasuk pandemi virus corona ini,” kata dr. Lahargo Kembaren, psikiater dan anggota Persatuan Psikiater Indonesia (PDSKJI) dalam akun instagramnya Jumat (1/9).
Jika merasakan perasaan emosi seperti ini, Nirmala Ika mengatakan untuk jangan segan untuk mencari bantuan profesional.
The post Kasus Pasien COVID-19 Bunuh Diri dan Kesehatan Mental Selama Pandemi appeared first on Hello Sehat.